Artikel

Belajar Kebenaran dari Pipit Haryanti

Sebuah Kisah Perjuangan, Pengabdian, dan Kontroversi Hukum.

Di balik hiruk-pikuk dunia politik desa, terdapat kisah seorang perempuan tangguh yang berjuang membangun desanya dengan sepenuh hati. Pipit Haryanti, yang akrab disapa Bunda oleh warganya, merupakan sosok yang berhasil membawa Desa Lambangsari menuju kemajuan. Dengan modal kepemimpinan yang transparan dan partisipatif, ia menorehkan banyak prestasi gemilang selama menjabat sebagai Kepala Desa. Namun, perjalanan hidupnya tiba-tiba berubah ketika ia terseret dalam dugaan kasus korupsi.

 
Perjalanan Menuju Desa Mandiri

Pipit Haryanti bukan sekadar kepala desa biasa. Dengan kepemimpinan yang bersih dan inovatif, ia berhasil mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDES) secara transparan. Setiap perencanaan dan pelaksanaan anggaran diumumkan secara terbuka kepada masyarakat melalui berbagai media, termasuk spanduk dan media sosial. Berkat dedikasinya, Desa Lambangsari meraih berbagai penghargaan bergengsi, di antaranya:

  1. Status Desa Mandiri.
  2. Penghargaan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2019).
  3. Penghargaan Desa Juara se-Jawa Barat (2019).
  4. Sertifikat Aksi Nasional Pencegahan Korupsi dari KPK (2020).
  5. Penghargaan sebagai Pembina Umum Karang Taruna Teladan (2021).
  6. Penghargaan Desa Digital se-Jawa Barat (2021).

Penghargaan ini membuktikan bahwa Pipit Haryanti bukan hanya pemimpin yang bekerja keras, tetapi juga berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

 
Terpeleset Dugaan Korupsi

Agustus 2022 menjadi titik balik dalam perjalanan Pipit Haryanti. Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus pungutan liar (pungli) terkait Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Pipit diduga menarik dana sebesar Rp400.000 per pemohon, dengan total pungutan mencapai Rp466 juta. Kejaksaan Negeri Bekasi pun menahannya sejak 2 Agustus 2022.

Kasus ini mengejutkan banyak pihak, termasuk keluarganya yang kemudian mencari bantuan hukum. Sejumlah pengacara senior, termasuk Andi Syafrani dan Bambang, turun tangan untuk membela Pipit. Mereka meyakini ada kekeliruan dalam penegakan hukum terhadap Pipit.

 
Program PTSL: Kebijakan atau Kesalahan?

Program PTSL merupakan inisiatif pemerintah untuk mempercepat sertifikasi tanah masyarakat. Biaya PTSL diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, dengan ketentuan maksimal Rp150.000 di Jawa dan Bali. Namun, di Desa Lambangsari, biaya yang ditetapkan mencapai Rp400.000 per pemohon. Menurut hasil investigasi, angka ini bukan keputusan sepihak Pipit Haryanti, melainkan hasil musyawarah antara Koordinator PTSL, RT, RW, Dusun, BPD, dan LKD pada Agustus 2021.

BPN Kabupaten Bekasi yang hadir dalam rapat pun tidak menolak besaran biaya tersebut. Bahkan, dalam persidangan terungkap bahwa biaya operasional untuk menjalankan program ini sangat tinggi. Proses sertifikasi tanah tidak hanya melibatkan kepala desa, tetapi juga banyak pihak seperti RT, RW, Dusun, dan tim dari BPN.

 
Realita di Lapangan
  • Dalam pelaksanaan PTSL, banyak faktor yang membuat biaya operasional membengkak. Antara lain:
  • Penyewaan basecamp untuk petugas BPN.
  • Biaya ATK, printer, dan wifi.
  • Operasional RT, RW, dan Dusun untuk verifikasi dokumen dan pendampingan warga.
  • Biaya transportasi ke kantor BPN.
  • Konsumsi bagi petugas di lapangan.

Jika dibandingkan dengan daerah lain, biaya PTSL di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, juga ditetapkan sebesar Rp400.000 melalui Peraturan Bupati. Sayangnya, di Kabupaten Bekasi tidak ada aturan serupa, sehingga pungutan ini dianggap sebagai pelanggaran hukum.

 
Masyarakat Tidak Merasa Dirugikan

Menariknya, dalam persidangan terungkap bahwa masyarakat Desa Lambangsari tidak keberatan dengan biaya tersebut. Bahkan, mereka merasa terbantu karena biaya sertifikasi tanah di masa lalu bisa mencapai Rp2,5 juta hingga Rp3 juta per bidang. Selain itu, ada sekitar 20 warga yang diberikan keringanan biaya atau bahkan digratiskan.

Dengan semua fakta ini, muncul pertanyaan: apakah ketidakhadiran Peraturan Bupati bisa menjadi dasar pemidanaan? Apakah kebijakan yang dibuat secara musyawarah dan telah dijalankan dengan transparan layak dianggap sebagai korupsi?

 
Keadilan yang Masih Dipertanyakan

Kasus Pipit Haryanti menyoroti kompleksitas hukum dalam pengelolaan desa. Apakah seorang kepala desa harus bertanggung jawab penuh atas keputusan kolektif? Jika memang ada kekeliruan administratif, bukankah seharusnya dilakukan perbaikan regulasi daripada pemidanaan?

Saat ini, Pipit Haryanti masih menjalani proses hukum. Banyak pihak yang berharap bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa mengabaikan konteks dan niat baik dari kebijakan yang diambil. Perjuangannya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua: bahwa dalam menegakkan kebenaran, terkadang ada harga yang harus dibayar.

 

Penutup

Setelah mendapatkan pembelaan hukum dari Tim MAF Law Office / Litigasi Tipikor, Alhamdulillah Majelis Hakim Tipikor Bandung menyatakan membebaskan Pipit Haryanti dari segala macam dakwaan dan tuntutan hukum.

Segala macam perbuatannya dinyatakan tidak melawan hukum secara materil berfungsi negatif.

Majelis Kasasi menyatakan hal yang sama yaitu menolak kasasi Jaksa dan tetap menyatakan Pipit Haryanti tidak bersalah.

Artikel Lainnya

Justitia Omnibus

Open chat
Halo,
Silahkan Konsultasi Masalah Hukum Anda Kepada Kami!