Artikel

Alasan Pembenar dalam Perspektif Hukum Pidana

Contoh-contoh Hapusnya Sifat Melawan Hukum.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, konsep alasan pembenar merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan seseorang terbebas dari jerat pidana meskipun secara formil telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur delik. Alasan pembenar ini berhubungan erat dengan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yang pada dasarnya menghapus sifat melawan hukum dari suatu perbuatan.

 
Kasus Amaq Sinta: Pembelaan Terpaksa sebagai Alasan Pembenar

Kasus Amaq Sinta yang terjadi di Lombok Tengah, NTB, menjadi salah satu contoh konkret penerapan alasan pembenar dalam sistem hukum Indonesia. Pada April 2022, Amaq Sinta menjadi korban upaya perampokan oleh empat orang begal di jalan raya yang sepi. Dalam peristiwa tersebut, ia berusaha membela diri dengan pisau dapur yang ia bawa, yang mengakibatkan dua pelaku begal tewas.

Awalnya, Amaq Sinta ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Namun, setelah dilakukan serangkaian gelar perkara dan pertimbangan dari ahli hukum pidana, Polda NTB akhirnya menghentikan penyidikan dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pihak kepolisian menyimpulkan bahwa tindakan Amaq Sinta termasuk dalam pembelaan terpaksa, sehingga tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum baik secara formil maupun materiil.

Kapolda NTB, Irjen Djoko, menegaskan bahwa tindakan Amaq Sinta tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, karena sesuai dengan prinsip hukum pidana yang membenarkan pembelaan diri dalam keadaan darurat.

 
Kasus Muhammad Irfan Bahari: Keberanian Melawan Begal

Kasus lain yang mencerminkan penerapan alasan pembenar adalah peristiwa yang menimpa Muhammad Irfan Bahari di Bekasi pada Mei 2018. Saat sedang menikmati pemandangan malam bersama sepupunya di Flyover Summarecon, Irfan dan sepupunya dihadang oleh dua begal bersenjata celurit.

Meskipun sepupunya pasrah menyerahkan barang berharga, Irfan memilih untuk melawan. Dengan keahliannya dalam bela diri, ia berhasil merebut senjata pelaku dan dalam perkelahian itu, salah satu begal tewas. Alih-alih diproses sebagai pelaku tindak pidana, polisi justru memberikan penghargaan kepada Irfan atas keberaniannya dalam menghadapi kejahatan.

Setelah melakukan gelar perkara dengan ahli pidana, polisi memutuskan bahwa Irfan tidak bersalah karena tindakannya masuk dalam kategori pembelaan terpaksa, yang merupakan bentuk alasan pembenar dalam hukum pidana.

 
Alasan Pembenar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Baru

KUHP yang baru disahkan semakin memperjelas keberadaan alasan pembenar dalam hukum pidana. Dalam Pasal 12 KUHP Baru, disebutkan bahwa suatu perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana dapat dianggap tidak melawan hukum apabila terdapat alasan pembenar yang sah.

Pasal tersebut menegaskan bahwa:

  1. Tindak pidana merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana oleh peraturan perundang-undangan.
  2. Suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai tindak pidana apabila bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan norma hukum yang berlaku dalam masyarakat.
  3. Jika terdapat alasan pembenar, maka sifat melawan hukum dari suatu perbuatan dapat dihapuskan.
 
Kesimpulan

Penerapan alasan pembenar dalam hukum pidana Indonesia memberikan perlindungan bagi individu yang terpaksa melakukan tindakan tertentu dalam situasi darurat. Kasus seperti Amaq Sinta dan Muhammad Irfan Bahari menunjukkan bagaimana sistem hukum mengakomodasi keadaan di mana seseorang tidak dapat dipidana karena tindakannya didasarkan pada pembelaan terpaksa.

Dengan KUHP yang baru, pemahaman tentang sifat melawan hukum dalam perspektif hukum pidana semakin diperjelas. Ini memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang menghadapi situasi serupa, sehingga tidak lagi terjadi kekeliruan dalam penegakan hukum terhadap mereka yang sebenarnya tidak bersalah.

Artikel Lainnya

Justitia Omnibus

Open chat
Halo,
Silahkan Konsultasi Masalah Hukum Anda Kepada Kami!